Bagaimana Agar Tulisan Longform Lebih Fokus: Belajar Lagi Soal Jurnalisme Sastrawi

Adi Renaldi
4 min readJun 10, 2022

--

“You can’t rush art.”

Privilese seorang jurnalis di antaranya adalah soal waktu. Di tengah cepatnya arus informasi, sudah umum ketika seorang jurnalis dituntut beradu cepat dalam soal menyetor tulisan. Ia tak punya banyak waktu untuk sekedar menunggu perkembangan, menganalisis setumpuk data, atau menggali fakta lebih dalam.

Saya kerap kagum, ketika seorang jurnalis punya waktu melimpah untuk mengerjakan satu cerita, yang hasilnya berupa tulisan panjang dengan bumbu cerita ala novel, lengkap dengan lika-liku plot dan konfliknya.

Mungkin cuma segelintir yang punya privilese tersebut. Sementara saya, lebih sering mendapat pertanyaan yang mungkin paling bikin jurnalis alergi.

“Mana naskahmu? Kesuwen. Kapan kamu mau setor?”

Yang (dalam hati) saya jawab, “You can’t rush art, Bung!”

Ya, menulis adalah seni. Dan sebagaimana layaknya seni, bagi saya, ia tidak bisa diburu-buru. Bagaimana seorang jurnalis mengolah banyaknya fakta dan data menjadi satu kesatuan cerita yang mudah dipahami dan nikmat dibaca tentu adalah proses seni dalam seni itu sendiri.

Tulisan bergaya naratif, jurnalisme sastrawi, atau longform, punya daya pikat tersendiri. Dari segi kompleksitas isu dan gaya tulisan, bagi saya ia adalah tingkatan tertinggi dalam jurnalisme. Untuk menguasainya perlu banyak latihan (dan kalau punya dana atau mendapat beasiswa bisa mengambil program magister khusus jurnalisme narasi).

Saya mulai mendalami jurnalisme naratif pada 2016, setelah sekian lama berkutat dengan bermacam gaya tulisan yang kelewat jelek untuk diingat. Kala itu saya tak pernah memikirkan karier jurnalisme. Yang penting menulis untuk gaji bulanan. Lambat laun (karena terinspirasi pemred dan terpapar bermacam karya jurnalistik) saya mulai tertarik mendalami. Saya belajar dari nol. Naskah diedit, diuji, dirombak, dicaci maki. Semua saya jalani. Saya tak pernah segan bertanya dan belajar dari mereka yang saya anggap mumpuni.

Saya mulai membaca dan menelaah lagi karya-karya legendaris bidang ini: Hiroshima-nya John Hersey (wajib), In Cold Blood-nya Capote, Black Hawk Down-nya Mark Bowden, dst, dst. Sampai sekarang karya tersebut terus memukau. Bagaimana para jurnalis itu menghabiskan ratusan jam mewawancarai puluhan narasumber, memverifikasi fakta, mencari data sekunder dan mengolahnya serta merekonstruksi ulang suatu peristiwa? Gila.

Hampir enam tahun kemudian saya juga merasa masih perlu banyak belajar. Saya belum puas. Ya jelas, kalau sudah puas mungkin saya sudah menggondol Pulitzer Prize untuk Feature Writing.

Tapi dari sekian tahun yang telah berlalu itu saya punya sedikit pemahaman soal jurnalisme naratif. Beberapa di antaranya seperti di bawah ini:

  • Hampir semua peristiwa bisa ditulis secara mendalam. Tapi perlu pisau analisis yang tajam untuk membedah suatu peristiwa sebelum dituangkan ke dalam tulisan. Tentu kita tahu, jurnalisme naratif meminjam elemen dari prosa. Ada latar, karakter, alur aksi/konflik, sudut pandang, tone dan tema/tujuan. Maka elemen-elemen peristiwa tadi perlu dibedah lebih lanjut selama tahap pra-liputan (persiapan), sembari mengumpulkan semua data pendukung. Apakah ada setting yang bisa direkonstruksi? Apakah tokoh/narasumber bisa diakses? Pakai sudut pandang orang ketiga atau pertama? Ada klimaks atau anti-klimaksnya kah? Jika semua sudah memenuhi syarat, selamat!, kamu sudah punya benang cerita untuk dipintal.
  • Kesabaran adalah senjata utama. Di lapangan, kesabaran menjadi kunci. Waktu yang dihabiskan untuk menggali cerita dari satu narasumber bisa berjam-jam, bahkan berbulan-bulan. Ketika cerita sudah dirasa lengkap pun, pekerjaan wartawan belum selesai. Masih ada tahap verifikasi, demi menyaring mana yang fakta, mana yang bukan.
  • Tokoh/narasumber yang terlalu banyak bukan kunci bagusnya suatu cerita. John Hersey mewawancarai secara mendalam enam orang penyintas serangan bom atom di Hiroshima pasca PDII. Hasilnya kita tahu, satu edisi The New Yorker didedikasikan buat memuat cerita itu secara utuh, tanpa suntingan apalagi dibikin jadi berseri. Sesuatu yang baru terjadi dalam sejarah majalah itu. Pesan moralnya: jika kamu tidak berencana membuat mahakarya dahsyat seperti Hiroshima, usahakan untuk tidak memasukkan terlalu banyak karakter dalam suatu cerita. Alasannya gampang: pembaca menjadi bingung dengan tokoh yang memiliki bermacam karakter yang tumplek blek dalam satu artikel.
  • Lantas bagaimana memilih tokoh yang layak? Akan selalu lebih baik memang, ketika dalam tahap liputan untuk mewawancarai sebanyak mungkin narasumber. Namun, insting seorang wartawan untuk menangkap cerita yang paling menarik dan saling mendukung sangat diperlukan untuk menjustifikasi tokoh mana yang paling layak untuk menyuarakan kegelisahan kolektif atas suatu isu.
  • Ketika semua bahan sudah terkumpul, saatnya merekonstruksi cerita itu. Alur yang mengalir hingga menuju klimaks/anti-klimaks adalah kunci suatu bacaan jurnalisme menjadi enak dibaca. Buat bagan untuk mem-breakdown suatu isu. Bagaimana awal mula peristiwa itu terjadi, apa dampaknya buat hidup si tokoh, baik secara psikologis maupun fisik? Apa konflik yang melatarinya, lantas adakah resolusinya? Atau semua masih menunggu waktu? Di antara alur itu, jurnalis juga perlu memasukkan pandangan orang lain (pakar?) atau data-data pendukung lain. Ini juga pekerjaan rumah besar, bagaimana mengolah data (misalnya berupa angka, statistik) agar tidak kering (bisa dibilang agar menjadi prosaik).
  • Saya paling suka ketika membuka suatu tulisan dengan pengalaman si tokoh utama. Ini untuk membetot perhatian pembaca agar peduli dan sedikit banyak memberikan gambaran tentang suatu peristiwa. Lambat laun, tensi menjadi sedikit tegang dengan konflik yang dibedah. Naratif tanpa hiperbola. Sederhana tanpa menggurui. Pembukaan suatu tulisan ini bisa dengan bermacam gaya: deskripsi latar mungkin jadi salah satu yang banyak digunakan.
  • Kalau elemen tadi sudah dikuasai, teknik penulisan pun bisa bermacam-macam. Waktu dan alur, misalnya, bisa dipermainkan dengan mudah layaknya novelis. Misalnya satu peristiwa yang menimpa dua tokoh atau lebih secara bersamaan bisa saja ditulis berdasarkan beberapa sudut pandang tokoh yang berbeda tadi, sebelum akhirnya masuk dalam gambaran besar suatu peristiwa yang dilihat secara makro.

Mungkin itu sedikit tipsnya. Ada beberapa lagi, namun sebaiknya saya simpan untuk tulisan berikutnya agar tidak terlalu panjang. Yang terpenting: jangan malas membaca dan jangan malu buat belajar serta bertanya.

--

--

Adi Renaldi

Jakarta-based freelance multimedia journalist. Award-winning and award-losing. Has written for various publications around the world. www.adirenaldi.com