Menyoal Gonzo dan Seberapa Penting Jurnalis Menjadi Tokoh Sentral Suatu Cerita

Adi Renaldi
4 min readJun 11, 2022

--

Kerja lapangan dulu.

Ini masalah gaya penulisan semata. Tapi menjadi penting agar wartawan bijak menentukan seberapa krusial ia masuk ke dalam alur cerita.

Sang penemu Gonzo muncul bak mesiah ketika jurnalisme di Amerika mengalami kemunduran. Ia dipuja-puji.

Alasannya jelas belaka. Ketika Hell’s Angels tengah garang-garangnya dengan banyak misteri dan fakta sumir, Hunter S. Thompson malah menyusup dan keluar dengan karya tebal soal kehidupan intim geng motor itu.

Karyanya meledak di pasaran. Namanya melambung. Ia jadi selebritas dan belakangan masuk ke politik. Gaya penulisannya menjadi salah satu motor gerakan New Journalism, yang sebelumnya sudah dipopulerkan Tom Wolfe, Norman Mailer, John Hersey, dkk.

Dan tentu saja, gaya penulisan Thompson seketika dijiplak di seluruh dunia. Karya-karyanya dibedah dalam kelas-kelas jurnalisme.

Gonzo menekankan sudut pandang dan pengalaman sang penulis dalam kelindan cerita. Wartawan menjadi tokoh sentralnya, dan semua karakter lain hanya jadi pelengkap. Figuran. Ia sepenuhnya mengandalkan pandangan sang penulis dalam membawakan suatu kisah, yang tentu saja bisa jadi subjektif atau objektif.

Di situlah, bagi saya, letak permasalahannya.

Jangan salah, dulu saya pernah menulis dalam gaya seperti itu. Sebab media tempat saya bekerja kala itu bisa dibilang unik dari segi citra dan gaya konten. Membawa kesegaran, katanya. Maunya dekat dengan anak muda, sedikit ugal-ugalan, dan cenderung eksperimental, katanya lagi.

Maka jadilah, saya menulis dengan sudut pandang pertama untuk beberapa waktu, hingga bersumpah akan menenggak Intisari sampai tandas dalam satu tegukan jika harus meniru Gonzo lagi.

Pada masa itu, saya mulai melempar banyak pertanyaan dan mengambil kesimpulan, terutama soal etika dan moral dalam menulis a la Gonzo, bahwa saya tak terlalu menyukainya. Alasannya:

  • Seberapa penting suara seorang jurnalis hingga menjadi representasi suara kolektif atas suatu peristiwa? Bukankah memberi ruang bagi mereka yang tak punya suara lebih penting dalam jurnalisme?
  • Objektivitas adalah dogma dalam jurnalisme, dengan catatan ia harus jelas memihak mereka yang terdampak. Ini bisa diperdebatkan dalam tulisan tersendiri (sebabnya, menjadi objektif tidak membawa dampak jika yang dilawan adalah rezim). Menjamin bahwa suatu tulisan memiliki bobot yang seimbang, memihak mereka yang terdampak, agaknya perlu kehati-hatian ekstra dalam Gonzo.
  • Ada bahaya lain dalam jurnalisme Gonzo: bias, adanya prasangka yang sudah terbangun di kepala hingga memengaruhi realitas objektif, hingga munculnya asumsi yang berlebihan yang tak bisa diuji keabsahannya. Sebab ia lebih menitikberatkan pengalaman realitas si wartawan.
  • Jurnalis harus mengambil jarak. Ini juga dogma dalam jurnalisme lama. Ini masih bisa diperdebatkan (dan saya bahas di bawah dengan pengecualian) secara panjang lebar. Namun pengambilan jarak ini saya anggap penting agar wartawan bisa mendapat gambaran yang lebih luas, layaknya penonton di bagian tribun.
  • Seberapapun seorang wartawan mencoba menjadi bagian dari mereka yang terdampak, wartawan tetaplah bukan bagian dari mereka yang lebih berhak bersuara. Maka ketika seorang wartawan seolah menjadi ‘juru bicara’ mereka, ini bukan sesuatu yang tepat bagi saya.
  • Cerita yang datang dari mulut mereka yang mengalami suatu peristiwa masih menjadi sumber terkuat. Dengan disiplin verifikasi yang ketat tentunya.

Ada satu karya Gonzo yang menarik untuk ditelaah: Strange Rumbling in Aztlan (ada versi pdf gratisannya, bagi yang malas mengunduh saya punya kopi lunaknya). Itu adalah artikel karya Thompson yang terbit di Rolling Stone pada April 1971. Tulisan itu mengangkat soal tewasnya Ruben Salazar, seorang aktivis dan wartawan LA Times, yang tengah meliput demonstrasi menentang Perang Vietnam yang digelar oleh National Chicano Moratorium March di Los Angeles.

Demo itu awalnya berjalan lancar. Menjadi mencekam ketika polisi secara beringas membubarkan massa dan menembakkan gas air mata. Salah seorang polisi lantas menembakkan gas air mata ke arah Salazar yang tengah duduk di bar meminum bir usai liputan. Ia tewas di lokasi kejadian. Kepalanya terhantam selongsong gas air mata.

Ketegangan di sekitar barrio pun memuncak pasca kejadian itu.

Thompson tertarik menginvestigasi kejadian itu dan menangkap kegelisahan para warga di barrio. Ia pun berangkat dan menyewa sebuah kamar hotel di sekitar barrio buat liputan.

Karya Thompson tersebut lagi-lagi jelas bisa diperdebatkan. Dari sisi penulisan kreatif nonfiksi, Thompson merangkai peristiwa itu layaknya cerpen. Ia menjadi selayaknya detektif. Pembaca diajak oleh Thompson merekonstruksi peristiwa, berkeliling barrio, dan bersama-sama menyatukan repihan fakta.

Namun bagi saya, karya Thompson itu sedikit mengganjal. Ini bukan perkara bagus-jeleknya suatu karya. Tapi lebih kepada “kenapa Kau tidak memberikan ruang lebih luas bagi mereka yang terdampak secara langsung oleh represi itu?”

Ia membuka karya itu dengan keadaan hotel tempatnya menginap dan bagaimana ia mendeskripsikan kebisingan di lorong akibat ulah para pemadat dalam selusin paragraf, sebelum akhirnya ia pindah ke Silver Dollar, bar tempat Salazar terbunuh.

Pentingkah suaramu untuk kami dengar?

***

Menulis dengan sudut pandang ketiga, alias menitikberatkan storytelling pada seorang karakter, punya kesulitan tersendiri. Menghabiskan waktu yang tak sebentar untuk meneliti karakter seseorang, membuntuti ia kemanapun pergi, menanyakan detail brengsek seperti “Apa makanan favoritmu”, “Apa film favoritmu”, “Sedang apa kau hari itu”, adalah beberapa hal yang bisa jadi bersifat intrusif, namun akan menjadi suatu cerita yang kaya.

Gonzo punya pilihan untuk mengeliminasi itu.

Ada beberapa pengecualian mungkin yang sedikit banyak bisa dimengerti. Cerita berdasarkan pengalamaan riil yang sifatnya eksperimentasi mungkin layak diangkat menjadi sebuah karya Gonzo. Contohnya, ketika jurnalis Project Multatuli bereksperimen menjadi kurir untuk beberapa bulan demi mengetahui problem mendasar dari gig economy dan tantangan apa yang dihadapi.

Saya memutuskan menulis dari sudut pandang pertama ketika ditugaskan menulis soal bertaruh nyawa di jalur tengkorak Bali, ketika saya menumpang sebuah truk bermuatan wire mesh dari Gilimanuk ke Kuta. Saya lupa alasan kenapa saya memilih teknik menulis itu.

Di lain kesempatan, ketika saya mendapat tugas menumpang truk logistik dari Jakarta ke Bandung, saya menulisnya dengan gaya seperti dituturkan kepada atau as told to. Ini semata karena perintah editor.

Gaya kepenulisan ketiga contoh di atas, menurut saya, sama laiknya untuk dieksplor lebih lanjut. Ketiga contoh itu pun, juga tetap kuat meski menggunakan sudut pandang yang berlawanan. Misal, bisa saja menaruh seorang sopir sebagai tokoh utama di artikel itu.

Bagi saya perlu kebijaksanaan untuk memilih mana cerita yang layak untuk diangkat menjadi jurnalisme Gonzo dan mana yang sebaiknya tidak. Sebab ada suara yang lebih patut didengar dibandingkan suaramu sendiri.

--

--

Adi Renaldi

Jakarta-based freelance multimedia journalist. Award-winning and award-losing. Has written for various publications around the world. www.adirenaldi.com