Nasib Wartawan Kiwari: Ngutang Demi Liputan, Naskah Tak Dibayar, Terus Terancam
Coba tanya ChatGPT, apakah profesi wartawan terancam dengan kehadiran akal imitasi? Jawabnya bisa dipastikan tidak.
Sebab hanya wartawan yang dapat menginvestigasi fakta yang tersembunyi (juga disembunyikan), mendeduksi suatu permasalahan dan mengungkap, menangkap nuansa, warna, dan suara subjek di lapangan.
Bahkan hasil peliputan wartawan kerap menjadi rujukan akal imitasi untuk memberikan jawaban terhadap suatu pertanyaan.
Jadi apakah posisi wartawan sudah aman? Tidak juga.
Gelombang PHK terus terjadi. Seolah wartawan sudah berteman akrab dan hidup dalam bayang-bayang “kapan giliran gue?”
Di situ banyak yang prihatin. Banyak pula yang melempar tanda tanya.
Prihatin, lantaran tak banyak kesempatan di bidang jurnalisme, yang memperbesar kemungkinan wartawan untuk banting setir ke profesi lain.
Tanda tanya, sebab jika posisi wartawan itu tetap penting, lalu kenapa perusahaan melakukan PHK?
Bagi wartawan lepas posisinya semakin sulit.
Semakin sulit menembus tembok tak kasat mata meja editor. Beberapa pekan lalu, ide liputan saya ditolak oleh sebuah media legendaris, dengan alasan sedang tidak bekerja sama dengan wartawan lepas.
“Kami harap dapat bekerja sama di masa mendatang,” tutup surel yang saya terima.
***
Bagi wartawan dengan insting terasah, ide liputan bisa didapat di mana saja. Obrolan warung kopi, pertanyaan yang menggelitik, membaca, atau kilatan ide ketika bengong di bawah pancuran kamar mandi (bagi saya ini sering).
Baru-baru ini saya sedang bersemangat mengerjakan profil yang saya anggap menarik dan telah terkubur waktu. Namun sulit menemukan media yang dapat menerima ide seperti itu. Alhasil, saya rela mengeluarkan dana dari kantong pribadi demi merekam cerita tersebut.
Namun, ide-ide itu akan sulit tereksekusi bagi wartawan lepas seperti saya. Sebab:
- Tak ada hubungan kontinyu antara newsroom dan wartawan lepas. Hanya sedikit media yang mempekerjakan kontributor tetap/retainer. Sehingga kebanyakan hanya one-off relationship.
- Editor yang dipindahtugaskan. Harus membangun kepercayaan dari awal lagi, meski newsroom biasanya memiliki daftar freelancer yang recommended (dan daftar hitam freelancer yang tak akan lagi dipekerjakan).
- Pengalokasian bujet untuk cerita yang dianggap lebih mendesak (perang, politik, posisi geografis suatu cerita, skala cerita apakah lokal atau internasional). Beberapa ide yang saya anggap penting mangkrak di drive karena saya belum menemukan media yang tertarik.
Apa akibatnya bagi wartawan lepas (terutama dari pengalaman saya)?:
- Ketika secara personal saya menganggap suatu ide itu penting untuk diungkap, saya akan terus mengejarnya kendati belum memiliki kontrak/MoU dengan suatu media. Prinsip saya kadang begini: Kerjakan dulu urusan tayang belakangan.
- Dengan prinsip itu akibatnya, saya harus membiayai liputan saya sendiri. Kadang dari tabungan yang saya sisihkan untuk pendidikan anak, kadang dengan mengorbankan suatu kebutuhan. Jika dihitung, mungkin puluhan juta rupiah sudah saya keluarkan untuk membiayai beberapa liputan atas dasar “proyek pribadi”.
- Seorang kawan pernah bercerita ia harus meminjam uang kepada saudara untuk keperluan logistik selama liputan.
- Meski liputan berjalan lancar dan naskah telah ditulis, belum tentu ada media yang mau menerbitkannya. Jika pun ada media yang mau menerima naskah tersebut, tak jarang mereka enggan membayar sebab dianggap sebagai unsolicited material alias materi yang dikirim tanpa persetujuan sebelumnya.
Maka sudah seharusnya perusahaan media mulai:
- Mengeksplor model pendanaan lain yang lebih mandiri, berkelanjutan, serta sirkular tanpa harus mengandalkan iklan, pemodal.
- Investasi ke pengembangan sumber daya, supaya dapat bersaing bahkan dengan akal imitasi sekalipun.
Percuma merasa prihatin dan takut demokrasi akan tergerus jika perusahaan media tak sigap dalam menentukan solusi. Fungsi media semakin penting di tengah kebisingan internet dan akal imitasi.
Gelombang PHK akan terus terjadi, jadi buat apa merasa prihatin tanpa melakukan sesuatu?