Pelajaran di Balik Reportase Selama Pandemi COVID-19 Bagian Kedua: Menjadi Jurnalis Lepas
Awalnya saya pikir bisnis media adalah bisnis yang aman, karena seperti makanan, orang butuh berita buat akal sehatnya. Ternyata saya salah.
Sudah lebih dari tiga bulan sejak saya di-PHK.
Ini menjadi fase terlama tanpa pekerjaan tetap dalam sejarah hidup. Sebelumnya — dulu ketika masih membujang — paling cuma menganggur satu/dua bulan.
Tentu saat ini masalahnya lebih rumit. Saya tak lagi seorang bujangan. Sedang terjadi wabah di luar sana. Dan ada keluarga yang menanti di rumah.
Tapi apa boleh buat, posisi pekerjaan yang saya rasa aman toh akhirnya hilang juga. Dan seperti semua orang, tak ada yang siap ketika di-PHK.
Bisnis media memang rumit. Saya sempat pesimis ketika cara orang-orang mengonsumsi berita telah berubah ke arah viralitas. Tapi saya pikir, jurnalis tetap dibutuhkan. Sebab mereka punya kemampuan analisis yang mumpuni dalam menggali suatu berita. Tak cuma memaparkan fakta, tapi juga rentetan dan silang sengkarut peristiwa yang diurai agar lebih mudah dipahami.
Ketika masih bekerja tetap, saya memang sempat kepikiran untuk bekerja freelance. Sebab saya pikir seorang wartawan lepas punya waktu lebih untuk mendalami suatu cerita.
Saya sudah capek menulis berita tiap hari. Ketika menjadi wartawan lepas, setidaknya kita punya waktu untuk memikirkan dan memilah berita mana yang hendak diangkat secara mendalam. Berbeda dengan wartawan penuh waktu yang kadang tak punya kontrol atas cerita yang ingin/atau tidak ingin dibuat.
Tapi kita tahu kenyataannya. Menjadi wartawan lepas itu keras. Ide yang ditolak lebih banyak daripada yang diterima. Bayarannya pun sulit menutup tagihan bulanan.
Saya pikir bekerja menjadi wartawan adalah pekerjaan dengan gaji yang tak pernah naik sejak empat dekade lalu. Justru malah turun. Hunter S. Thompson digaji $100 untuk menulis ficer soal Hell’s Angels untuk The Nation. Pada 1965! Sementara saat ini, bayaran $300 saja sudah sangat disyukuri.
- *
Seorang kawan sempat bertanya di hari terakhir saya ngantor. “Mau ke mana habis ini?” tanyanya. Saya jawab belum tahu, mungkin freelance.
“Apa enggak mau nyoba jadi penulis konten atau copy?” tanyanya lagi.
“Ya bagaimana, saya sudah kadung menjadi jurnalis bertahun-tahun. Saya coba dulu bertahan.”
“Bisnis media sedang kolaps,” katanya.
Beberapa hari kemudian, gelombang PHK di media-media besar Jakarta seolah tak terbendung. Saya sadar posisi saya sulit.
Sejauh ini saya masih mencoba menjadi wartawan lepas di beberapa media. Jika ditotal mungkin gaji yang diterima lebih kecil. Saya bertahan dengan uang pesangon juga.
Yang lebih sulit, adalah ketika saya bersemangat untuk menulis suatu cerita tapi tak ada media yang tertarik. Padahal ceritanya keren lho? Tapi ya begitulah, para editor — dengan mempertimbangkan bujet mereka juga- tak bisa sembarangan menerima suatu proposal cerita. Terlebih dari seorang wartawan yang tak punya nama.
Mungkin strategi yang bisa diambil adalah mendiversifikasi pekerjaan. Tak ada salahnya mengambil job yang tak sesuai passion, tapi harus meluangkan waktu untuk mengejar ambisi agar tetap waras hidup di tengah pandemi.
Saya sedang mencoba mengajukan lamaran lagi ke beberapa perusahaan yang tak ada hubungannya dengan media. Mungkin ini kenyataan yang harus dihadapi: bertahan hidup itu sulit, tapi menjadi wartawan itu lebih sulit lagi.