Tentang Jalan Berliku Menjadi Jurnalis
Untuk Papa dan N.
Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, Papa selalu duduk di pojok yang sama. Di bagian kanan sebuah sofa sudut abu-abu yang sudah uzur. Segelas besar teh panas manis teronggok di meja. Kedua tangannya menyibak Kompas. Matanya menelisik setiap sudut halaman.
Sore hari, sepulang kerja, ritual itu kembali dilakukan, hingga kini setelah beliau pensiun. Buat ukuran seorang bankir, wawasan Papa luas. Dia tahu peristiwa yang terjadi ribuan kilometer jauhnya dari rumah. Bagaimana Perang Teluk terjadi sampai berdirinya Federasi Rusia.
Satu hari aku ingat pernah berkata pada Papa. “Kalau sudah besar aku ingin jadi wartawan!”
“Kamu harus banyak membaca, biar wawasanmu luas,” jawabnya, tanpa menatapku.
Aku lupa alasan celetukan itu meluncur dari mulutku. Mungkin karena setiap hari melihat Papa membaca koran. Mungkin juga karena aku gemar membaca novel detektif remaja dan komik Tintin.
Sejak kelas dua SD, aku suka mampir ke taman bacaan selepas sekolah. Meminjam Goosebumps, komik Asterix dan Lucky Luke, dan manga. Aku juga suka menyelinap ke kamar kakak perempuanku, yang usianya terpaut enam tahun. Aku menyelinap sebelum ia pulang sekolah. Memeriksa barang-barangnya, dan sebisa mungkin tak meninggalkan jejak. Sebab ia selalu marah jika tahu adiknya masuk kamar dan mengobrak-abrik barang-barangnya.
Di antara tumpukan kaset Slank, Bon Jovi, dan Firehouse, kakakku menyimpan banyak buku bacaan dan majalah. Dari kakakku, aku gemar membaca novel Agatha Christie, John Grisham, Trio Detektif karya Robert Arthur Jr. — yang aku pikir adalah karya Alfred Hitchcock, Lima Sekawan-nya Enid Blyton, S.T.O.P karya Stefan Wolf, dan banyak novel petualangan lain.
Aku melihat bagaimana seorang wartawan bisa mendapat petualangan itu. Bertemu orang asing, pergi ke tempat jauh, membela orang lemah, dan mengungkap kejahatan. Tak semua profesi bisa menawarkan itu.
Di bangku SMP, aku tertarik mendalami tulis menulis. Di sekolah aku ikut ekstrakurikuler karya ilmiah remaja. Guruku, Pak Horison, adalah seorang berperawakan gempal dengan rambut yang seluruhnya putih. Ia membimbing kami membuat karya ilmiah dari kehidupan sehari-hari.
Aku juga suka membaca salah satu koran lokal langganan Papa, Bernas, yang masih bertahan hingga kini. Di koran itu ada rubrik khusus pelajar yang ditulis juga oleh pelajar dari seantero kota. Nama rubriknya Gema.
Kebetulan lagi, Gema membuka lowongan untuk pelajar yang tertarik bergabung dan membuat karya jurnalistik. Meski tak punya pengalaman menulis, selain dalam pelajaran mengarang dan ekstrakurikuler di sekolah, aku memutuskan untuk mencoba.
Dengan diantar Papa naik motor dinas Honda Win 100, aku mendatangi kantor Bernas, yang kebetulan letaknya tak jauh dari kantor Papa. Aku ingat ada ruangan khusus buat para wartawan muda itu. Di sebuah ruangan, aku diwawancara. Apa hobimu, apa yang paling kamu sukai. Semacam itu kalau tidak salah.
Aku tidak lolos rekrutmen. Sedikit kecewa. Tapi aku terus membaca dan belajar.
Impian menjadi wartawan sempat minggat ketika SMA dan kuliah, ketika mengulik musik terbaru dan membeli pakaian yang sedang trendi lebih penting daripada menulis. Malahan, aku tak tahu ingin menjadi apa kelak. Aku sempat hilang arah.
Keinginan untuk tekun menulis muncul sesaat setelah putus dari pacarku saat itu. Aku mengaguminya. Dia sosok tangguh, periang, dan independen. Berbeda denganku, dia tahu apa yang diinginkan dalam hidup. Dia juniorku di SMA dan kuliah jurnalistik.
Saat aku malas-malasan kuliah dan tak tahu apa yang akan diperbuat, mantanku menggapai mimpinya bekerja sebagai wartawan di salah satu majalah, menulis rubrik gaya hidup, di sela-sela kuliahnya. Dia bercita-cita pindah ke Jakarta. Aku terinspirasi, namun tetap saja tak tahu apa yang mesti diperbuat.
Kami pacaran selama empat tahun. Berbagai masalah membuat kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Aku ingat kata-katanya saat detik-detik terakhir menjelang kami putus.
“Sudah tidak ada lagi yang bisa aku banggakan darimu.”
Kalimat itu benar belaka. Selain menjalani hubungan yang toksik dan abusive, aku tak tahu apa yang aku inginkan. Aku bolos kuliah bertahun-tahun. Menghabiskan waktu dan uang untuk bermain-main. Masa depan hanyalah konsep abstrak yang selalu aku hindari.
Sedih tentu saja. Selama dua tahun aku terperosok dan merasa kehilangan yang amat sangat. Tapi apa daya, itu semua salahku.
Aku bertekad bangkit. Aku memutuskan kembali kuliah. Menyelesaikan apa yang sudah kumulai, meski itu berarti aku harus mengulang hampir semua mata kuliah. Kali ini aku menjalaninya dengan serius dan kerja keras.
Di sela-sela kuliah, aku mulai belajar menulis lagi secara serius. Dari nol. Kebetulan, salah satu kawan menerbitkan majalah musik independen di kotanya. Iseng, aku mencoba menulis resensi musik. Tulisanku dibilang bagus, diterbitkan, dan ia dengan senang hati akan menerbitkan tulisanku lagi.
Aku merasakan kebahagiaan yang aneh, di luar memuaskan orang tua dengan nilai sekolah yang bagus, ketika karyaku diapresiasi dan dinikmati orang. Semacam ekstasi.
Aku memperbanyak membaca buku dan terus menulis. Gagal, dicaci maki, bangkit lagi, dan terus menulis. Begitu seterusnya. Aku juga bekerja paruh waktu sebagai penulis konten buat menambah uang jajan.
Selepas lulus kuliah, delapan tahun kemudian sejak aku terdaftar, aku bekerja di sebuah majalah remaja selama hampir setahun, menulis soal budaya Korea dan kegiatan sekolah.
Bosku puas dengan tulisanku dan berniat mempromosikanku sebagai editor. Aku menolak karena ingin hijrah ke Jakarta, menjemput mimpi yang sama dengan mantanku.
Hidup memang selalu punya kejutan di setiap ceruknya. Aku tak tahu ke mana jalan hidup yang berkelok dan naik-turun membawaku.
Jika menengok ke belakang, entah sudah berapa lama waktu yang kubuang percuma. Ada beberapa hal yang hingga kini masih kusesali. Di sisi lain, waktu yang terbuang itu mungkin saja telah menempa diriku menjadi yang sekarang, untuk lebih menghargai waktu dan fokus atas apa yang bisa dikerjakan sekarang.
Mungkin saja, jika aku lulus kuliah tepat waktu, aku bakal menghabiskan waktuku di belakang meja sebagai PNS di suatu daerah, atau bekerja sebagai venture capitalist yang membakar uang untuk memodali perusahaan rintisan. Entahlah.
Untuk orang dengan dorongan impulsif yang kadang tak terkendali, aku susah membuat komitmen. Berapa banyak hubungan yang harus kandas, berapa banyak proyek yang terbengkalai karena kehilangan semangat di tengah jalan.
Namun aku bersyukur masih mendapat kesempatan untuk konsisten menjalani karier yang telah aku pilih sejak kecil. Dan aku berharap untuk terus menjalani pilihan ini sampai mati.