Teror di Laut: Buruknya Infrastruktur Memaksa Ribuan Nelayan Bertaruh Nyawa di Bawah Ancaman Abu Sayyaf
Versi asli sebelum proses edit.
Artikel pertama kali tayang di VICE Indonesia: https://www.vice.com/id_id/article/4ag95d/alasan-teroris-abu-sayyaf-sering-menculik-nelayan-indonesia-di-malaysia?
Sejak 1990-an ribuan nelayan asal Indonesia bermigrasi ke negeri jiran demi penghasilan yang lebih layak. Sayang harga yang harus dibayar kelewat mahal. Mereka menjadi sasaran empuk penculikan oleh kelompok teroris Filipina Abu Sayyaf. Salah satu penyebabnya adalah peraturan dan infrastruktur perikanan di Indonesia yang centang perenang.
Kapal pukat harimau buatan 1990-an itu terhuyung dihajar gelombang setinggi 5 meter di perairan sebelah timur laut Sabah, Malaysia pada dini hari 18 Januari 2017. Hujan deras turut menampar badan kapal tanpa ampun. Badai seolah tak memberi kesempatan buat nakhoda Subandi untuk sekedar menghela napas. Dengan cekatan dia mengendalikan roda kemudi, berusaha memecah ombak agar perahu sepanjang 21 meter dan lebar 5 meter itu tak tergulung. Sementara dua rekannya, Hamdan dan Sudarling, turut bersiaga di anjungan. Sesekali Subandi melirik ke arah layar radar yang berpendar di kegelapan, memastikan kapal tak melintasi tapal batas Filipina.
Hari itu adalah perburuan ikan seperti biasa bagi mereka. Dalam satu bulan, Subandi bisa empat kali berlayar mencari ikan. Satu kali trip memakan waktu enam hari. Praktis para awak kapal cuma memiliki jatah libur enam hari dalam sebulan. Tapi Subandi tak pernah mengeluh. Dalam satu kali perjalanan, Subandi dan kawan-kawannya bisa menangkap 4–5 ton ikan. Dia bisa meraup 2.000 ringgit sebulan. Itu 10 kali lipat penghasilannya di kampung halaman saat musim sedang bagus. Di kampungnya, ember penampung ikan lebih sering kosong berminggu-minggu jika cuaca tak mendukung. Sementara di Sabah, ikan terus melimpah tak peduli musim atau cuaca.
Perlahan tapi pasti, dengan kecepatan maksimal 9 knot, kapal tua dengan nomor lambung BN 838/4/F itu terbukti tak pernah takluk pada badai. Pukul 2 dini hari, saat cuaca berangsur membaik Subandi menyerahkan kemudi kepada Hamdan sebelum berpamitan untuk beristirahat di kamar ABK, yang terletak tepat di belakang anjungan.
Baru tiga jam terlelap, Subandi tergeragap bangun setelah mendengar derap kaki dan kegaduhan di geladak. Meski hari masih gelap Subandi bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depannya, tiga orang berbaju hitam dan bertelanjang kaki, menodongkan senapan serbu hitam mengkilat ke arahnya. Hamdan dan Sudarling hanya melongo. Subandi merasakan lututnya lemas.
Di samping kapal pukat, bersandar sebuah speedboat besar berwarna hitam dengan mesin ganda yang mampu menghasilkan kekuatan 80 tenaga kuda. Perahu itu bergoyang mengikuti irama laut. Mereka bersumpah tak melihat kedatangan speedboat itu di radar GPS.
“Kami polisi dari pulau Taganak,” kata salah seorang bersenjata dalam bahasa melayu. Nadanya sedikit mengancam. Rambutnya tergerai menyentuh bahu. Subandi menaksir usianya baru menginjak 20-an. Subandi tahu di mana letak pulau itu. Dia kerap melintasinya dalam perjalanan mengais ikan.
“Mari ikut kami sekarang!” perintah orang itu.
Ketiga nelayan itu tak punya pilihan selain menuruti permintaan tiga orang bersenjata itu. Mereka tak diberi kesempatan untuk bertanya. Keenam orang itu lantas meninggalkan perahu dan turun ke speedboat. Ada dua orang lain yang berjaga di situ. Kebingungan melanda benak Subandi. Mereka jelas bukan perompak, sebab tak ada secuil harta benda yang digasak oleh mereka. Dia berusaha keras mencerna apa yang tengah terjadi. Dia mencoba percaya perkataan orang asing itu.
Speedboat meluncur cepat menembus kegelapan, menimbulkan riak deras di kiri kanan lambung. Kapal pukat tua itu tak mungkin lolos dari kejaran speedboat macam ini, batin Subandi. Dari kejauhan, Subandi menengok ke belakang, melihat kapal pukat harimau yang menjadi ibarat rumah baginya dan kawan-kawan dalam satu dekade terakhir, terombang-ambing terseret gelombang tanpa awak ditelan pekat malam.
Sekilas dia teringat perkataan petugas patroli air Malaysia yang sebelumnya kerap didengarnya, yang memperingatkan para nelayan agar menghindari speedboat besar seperti yang ditumpanginya saat ini. Sebab itu adalah milik gerombolan Abu Sayyaf yang kerap menculik nelayan. Subandi bergidik, tapi segera mengenyahkan pikiran itu. Dalam hati dia berharap, orang-orang asing ini polisi betulan.
Tak berapa lama, speedboat itu justru semakin menjauh dari pulau Taganak di Laut Sulu, Provinsi Tawi-Tawi, Filipina selatan yang cuma berjarak sekian jam dari Sandakan.
“Kami mau dibawa ke mana?” Subandi memberanikan diri bertanya.
“Kamu tenang saja,” jawab si melayu. “Kita akan pergi jauh dari sini.”
Subandi segera sadar, gelagat bahaya menyambut. Nasib mereka tinggal menunggu waktu. Dia yakin hidupnya kini berada di tangan gerombolan Abu Sayyaf.
***
Tak seperti Kapten Haddock, atau semua gambaran pelaut rusuh di film bajak laut, Subandi adalah sosok nakhoda dengan pembawaan tenang. Dia tak banyak bicara. Badannya tegap dengan dada bidang. Tingginya mungkin sekira 180 cm. Berkulit coklat akibat terpaan matahari dan berkumis baplang, dia cukup disegani oleh kawan-kawannya.
Subandi lahir pada 1976 di Liukang Loe, sebuah pulau kecil di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Bulukumba kondang sebagai daerah pembuatan perahu Pinisi, yang oleh UNESCO masuk dalam daftar ‘Mahakarya Warisan Budaya Turun Temurun.’ Bertolak belakang dari hingar bingar predikat itu, nama Liukang Loe nyaris tak pernah terdengar. Pulau itu berada 5 km sebelah selatan pantai Tanjung Bira. Luasnya hanya 5.67 km2 dan dihuni 218 kepala keluarga. Saking kecilnya, mungkin pulau ini tak bakal terlihat di buku atlas.
Lanskap Liukang Loe berupa batu karang dengan tanaman bakau di sebelah selatan. Tak ada jalan raya di pulau itu. Hanya jalanan sempit berkonblok yang menghubungkan rumah ke rumah. Hampir semua warga tak punya kendaraan bermotor. Sebab hanya perlu waktu kurang dari satu jam untuk pergi mengelilingi rumah-rumah warga. Betul-betul sepi.
Para warga menggantungkan hidupnya dari industri pariwisata, dengan menyediakan kapal penyeberangan, atau menangkap ikan secara tradisional menggunakan jaring atau pancing. Komoditas utama di sana adalah ikan yang tinggal di karang, seperti kerapu, cepa, dan baronang. Hasil tangkapan itu lantas dijual di pantai dan pelabuhan Bira, atau dijual antar tetangga. Rata-rata satu orang nelayan Liukang Loe hanya menangkap 5 kg ikan per hari. Lebih sering, mereka menggantungkan uang kiriman dari sanak famili yang merantau sebagai pelaut di negeri jiran.
Subandi adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Hampir semua kakaknya merantau ke luar pulau, menyisakan seorang adik perempuan di kampung. Bapaknya, Sattu, adalah nelayan tradisional Bugis yang semasa mudanya kerap berlayar dari Laut Jawa hingga Laut Arafura. Penghasilannya tak menentu. Jika sedang bagus, dia bisa mendapat 20–30 kg ikan dan mengantongi Rp200 ribu per hari. Tak cukup buat modal melaut dan menghidupi delapan orang anak. Subandi lantas hengkang dari bangku SMP dan melaut secara penuh waktu ikut bapaknya.
Sejak 10 tahun terakhir Subandi menjadi nakhoda kapal pukat milik seorang pengusaha Tionghoa di Sandakan, Sabah, Malaysia. Dia sudah melaut sejak usia 10 tahun mengikuti bapaknya mencari ikan. Umur 17 tahun, dia telah mahir mengemudikan kapal. Subandi datang ke Sandakan di usia 30-an bersama istrinya, mengikuti jejak para nelayan Bulukumba yang telah bermigrasi ke Sabah sejak booming industri perikanan di era 1990-an. Dia pergi lewat Makassar menuju Nunukan, Kalimantan Utara menumpang kapal feri. Perjalanan itu ditempuh 3 hari 3 malam. Dari Nunukan, mereka pergi ke Sandakan lewat jalur darat.
“Waktu mereka kecil itu setengah mati mengurus mereka,” kenang Sattu, yang meski telah berusia hampir 80 tahun, masih kerap memancing ikan tanpa joran dengan perahu cadiknya. “Dulu waktu anak-anak masih sekolah saya selalu bilang, sekolahlah baik-baik biar jadi orang, tapi mereka lebih senang ke laut, berenang dan menyelam.”
Sattu ingin anak-anaknya memiliki profesi selain nelayan, seperti guru atau pengusaha. Tapi tradisi dan takdir berbicara lain. Darah pelaut kadung mengalir di nadi anak-anaknya. Sattu kini tinggal bersama anak perempuan dan suaminya di sebuah rumah panggung sederhana berkelir biru muda tepat di bibir pantai. Istrinya sudah lama meninggal. Rumah itu sepi. Suami putrinya juga turut dalam pelayaran perahu wisata Pinisi sebagai pelayan.
“Waktu mereka beranjak dewasa, memang mereka sudah menjadi nakhoda kapal. Tidak ada yang suruh,” kata Sattu.
Suku Bugis memang terkenal sebagai pelaut dan penyelam ulung. Mereka adalah perantau alami. Keturunan Bugis tersebar di hampir semua kota pelabuhan di Indonesia. Begitu pula Subandi yang tak memiliki rencana untuk menetap di kampung halamannya. Sejak kecil ia mahir menyelam sambil memanah ikan. Di kampungnya, para nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan agar bisa menyelam lebih lama hingga dasar laut.
Tapi tetap saja, dengan metode apapun, mereka tetap miskin. Sebab agar menghasilkan profit yang besar, mereka juga perlu mengeluarkan modal besar, itu berarti sebuah kapal besar dengan persediaan yang cukup untuk bekal melaut selama berhari-hari. Itupun harus didukung infrastruktur industri yang memadai, seperti pasar ikan, fasilitas pendingin, dan alur transportasi logistik. Nelayan Liukang Loe tak punya itu semua. Rata-rata perahu yang dimiliki warga Liukang Loe bermesin kecil yang hanya sanggup melaut hingga 30 km dari pantai. Subandi sadar, jika ingin hidup berkecukupan dia harus hengkang dari pulau itu.
Perlahan semua anak muda yang cukup usia untuk bekerja meninggalkan pulau kecil itu. Menyisakan para orang tua, perempuan dan bocah-bocah.
Salah satu nelayan yang mengalami surutnya industri perikanan Bulukumba adalah Sunawir. Dia adalah tetangga sekaligus teman masa kecil Subandi. Usia mereka terpaut lima tahun. Sunawir merasakan sepinya kampung itu, ketika para pemuda berbondong-bondong mengemasi barang mereka untuk bekerja di Sabah. Dia sendiri ikut hijrah ke Sandakan menyusul kawan-kawannya.
Setelah hampir 20 tahun di Sabah, Sunawir memutuskan pulang ke Liukang Loe, membangun rumah bertembok batu bata dan membuka warung kelontong dari hasil menyisihkan gaji selama di Sandakan. Dari penghasilannya melaut, dia bisa menguliahkan anaknya sampai lulus. Kini Sunawir masih melaut di sekitaran Teluk Bone dan Laut Flores menjual apapun yang mampir ke jaring nelayannya.
“Teman-teman itu banyak yang ke sana [Sandakan],” kata Sunawir. “Akhirnya saya tinggal sendiri di kampung ini. Di sini tak ada apa-apa. Dari segi pengalaman pun kurang. Maka saya pergi buat mencari pengalaman. Saya pergi waktu masih membujang. Istilahnya pergi ke sana cuma sekedar mencari uang rokok.”
Industri perikanan Bulukumba memang belum serius dikembangkan. Pemerintah Kabupaten justru fokus pada budidaya ikan air tawar. Sementara pemerintah pusat tak juga turun tangan. Total produksi perikanan di kabupaten itu mencapai sekira 54 ribu ton pada 2014. Bandingkan dengan Sabah, yang rata-rata setiap tahun bisa mencapai 200 ribu metrik ton, dan menyumbang 2.8 persen dari total GDP di Sabah. Padahal dengan luas pengelolaan laut mencapai 950.000 km2, potensi perikanan di Bulukumba tentu tak kalah besar.
“Kami menunggu bantuan dari pemerintah,” kata Sunawir. “Karena kami ini sebagai nelayan, sebenarnya harus dilengkapi. Kami punya [alat] tetapi terkendala oleh biaya perlengkapan. Sehingga kami tidak bisa maksimal.”
Sebelum pemerintah benar-benar fokus mengembangkan industri perikanan Bulukumba, maka para pemuda Liukang Loe, seperti Sunawir dan Subandi, bakal terus bermigrasi ke negeri jiran. Nama pulau itu akan tetap samar di telinga orang dan akan tetap menjadi setitik hitam, yang seolah tak memiliki arti apapun, di peta industri perikanan Indonesia.
***
Pengemudi speedboat hitam itu perlahan mengurangi kecepatannya, sebelum berhenti sempurna di bibir hutan bakau. Itu adalah sebuah area paling tepat buat menyembunyikan speedboat dari pandangan mata. Matahari telah meninggi, tapi Subandi tak tahu dia berada di pulau apa. Dugaannya bahwa mereka telah menjadi korban penculikan terbukti. Selama dua hari berikutnya, Subandi ditawan di sekitar hutan bakau itu sebelum berjalan kaki dua jam menembus jantung kegelapan hutan. Dia dikawal lusinan anggota Abu Sayyaf yang memiliki persenjataan lengkap, dari pelontar granat hingga pistol semi-otomatis.
“Kalian turuti saja perkataan kami, dan kalian akan cepat bebas,” kata si orang melayu. Dari hutan bakau itu Subandi menyeberang ke Pulau Jolo — sebuah pulau vulkanik di barat daya Filipina — menggunakan kapal nelayan. Kemudian dia berjalan kaki lagi menuju hutan.
Beberapa hari setelah disekap, Subandi diizinkan menelepon sanak familinya di Sandakan. Pembicaraan itu tak lama, cuma satu hingga dua menit. Dia dilarang menelepon keluarganya di Bulukumba. Dalam percakapan telepon, Subandi menyampaikan pesan dari Abu Sayyaf jika dalam rentang waktu enam bulan tak ada sikap dari pemerintah (dalam arti uang tebusan), dia akan akan dibunuh.
Selama di hutan Subandi dan dua kawannya tinggal di tenda beralaskan tikar dan beratapkan terpal. Mereka makan seadanya, kadang nasi, kadang ubi-ubian dengan lauk pauk seadanya. Mereka tak pernah lama menetap di suatu tempat, demi menghindari kejaran aparat militer Filipina. Ada intel di kelompok Abu Sayyaf yang memonitor pergerakan tentara Filipina. Dalam satu bulan, mereka bisa berpindah lokasi tiga hingga empat kali. Mereka bergerak saat malam untuk menghindari sergapan. Perjalanan berpindah tempat itu kadang memakan waktu hingga 24 jam penuh, mendaki gunung melewati lembah.
Taktik gerilya malam hari tak selalu berhasil. Rombongan Subandi pernah terjebak dalam baku tembak antara militer dan Abu Sayyaf di malam hari saat mereka tertidur. Suara ledakan bom dan rentetan senjata yang membangunkan mereka. Subandi dan kawan-kawannya hanya disuruh bersembunyi di batang pohon sambil menunggu perintah lebih lanjut. Dia menyaksikan dua anggota Abu Sayyaf tumbang berkalang tanah dan darah. Tubuh itu dibiarkan tergeletak dan sengaja ditinggalkan oleh kelompok mereka.
Kendati spanduk hitam berlafaz Laillahaillah — yang menjadi simbol jihadisme modern — selalu terbentang di kamp, dari pengamatan Subandi, orang-orang Abu Sayyaf bukanlah sosok alim ulama. Mereka hanya salat dua rakaat. Tak pernah ada suara mengaji ataupun zikir. Terasa kontras dengan ideologi mereka yang ingin mendirikan negara Islam.
Meski dikelilingi persenjataan berat, ketiga sandera tersebut tak pernah mendapat perlakuan kasar, selain ancaman verbal. Mereka bahkan kerap mengobrol dengan si orang melayu, membicarakan perjuangan Abu Sayyaf dan alasan kenapa mereka melakukan penculikan. Namun tak jarang pula beberapa anggota Abu Sayyaf menunjukkan sederet video pemenggalan yang telah mereka lakukan, semata demi menunjukkan bahwa Subandi dan kawan-kawannya bisa bernasib sama. Subandi tak tahu apakah itu sekedar gertak sambal atau ancaman betulan. Yang jelas, dia hanya berharap bisa keluar dari situ hidup-hidup.
“Kami butuh uang buat makan dan membeli peluru,” kata si melayu. “Makanya biar kamu cepat bebas, kamu perlu mengontak bosmu dan pemerintah Malaysia serta Indonesia.”
Abu Sayyaf, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di Timur Tengah, berbasis di Jolo dan Basilan serta telah aktif sejak 1989 dengan misi mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Untuk mendanai operasinya, anggota Abu Sayyaf kerap menculik wisatawan asing dan ABK demi mengincar uang tebusan. Pada 2000, diduga kelompok Abu Sayyaf mendapat total uang tebusan antara US$10-US$25 juta, menjadikannya kelompok teroris paling kaya di kawasan Asia Pasifik.
Struktur Abu Sayyaf termasuk kompleks. Dia disatukan oleh hubungan darah antar klan dari suku Tausug dan Yakan. Ada banyak fraksi dalam tubuh Abu Sayyaf, dan tak semuanya terlibat penculikan, kata Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta.
“Abu Sayyaf adalah kelompok yang rumit,” kata Sidney kepada VICE. “Mereka adalah teroris, bandit, dan pemberontak sekaligus.”
Selain penculikan, kelompok itu juga kerap terlibat dalam perdagangan narkoba, pemerkosaan, pemerasan, dan aktivitas kriminal lainnya. Mereka juga dalang di balik serangkaian serangan bom mematikan di seantero Filipina, termasuk pemboman kapal SuperFerry 14 yang menewaskan 116 orang pada 2004.
Sejak 2000 penculikan menjadi cara ampuh bagi Abu Sayyaf untuk mendapatkan dana secara cepat. Namun baru pada 2016 Abu Sayyaf mulai fokus mengincar nelayan dan ABK asal Indonesia. Awalnya, nelayan Indonesia dan Malaysia yang berbasis di sekitaran Kalimantan bagian utara tak pernah menjadi target penculikan karena dianggap memiliki kesamaan kultur, ras dan agama. Namun itu semua berubah di awal 2016, ketika 14 anak buah kapal asal Indonesia secara tak sengaja diculik antara Maret-April.
Deka Anwar, peneliti IPAC, mengatakan awal mula penculikan WNI adalah sebuah ketidaksengajaan. Anak buah kapal yang diculik itu tengah berada di kapal berbendera Malaysia yang dipercaya milik pengusaha keturunan Tionghoa. Pemerintah Indonesia panik, dan segera mengirim uang tebusan. Sikap tersebut pada akhirnya membuat kelompok Abu Sayyaf ketagihan menculik WNI. Bagi mereka, pemerintah Indonesia tidak ribet dalam hal negosiasi, berbeda dengan pemerintah negara Barat.
“Kelompok Abu Sayyaf menganggap orang Indonesia sebagai sesama Muslim,” tulis Deka dalam laporannya. “Mereka dianggap miskin. Tapi apapun alasannya, respons pemerintah Indonesia atas penculikan itu justru memicu serangkaian penculikan lain ke depannya.”
Tak berapa lama, tepatnya pada akhir Juni 2016, 13 ABK lain dari sebuah kapal tongkang yang tengah menuju Samarinda, Kalimantan Timur diculik lagi oleh militan Abu Sayyaf. Demikian seterusnya. Konsulat RI di Tawau, Malaysia mencatat sebanyak 39 WNI diculik kelompok Abu Sayyaf dari 2016 hingga 2019. Terakhir, delapan WNI diculik di Pantai Tambisan, Lahad Datu, Sabah pada kurun September 2019 — Januari 2020. Tiga orang telah dibebaskan pada Desember tahun lalu, sementara lima WNI lain sedang dalam tahap negosiasi.
Sejak 2016, perairan Sulu menjadi kawasan paling berbahaya buat perdagangan menurut Biro Maritim Internasional (IMB). Predikat itu awalnya dipegang oleh perairan timur Afrika, namun sejak 2011 kasus perompakan dan penculikan turun signifikan di daerah itu.
Merespon maraknya penculikan sejak awal 2016, pihak keamanan Indonesia, Filipina dan Malaysia mengadakan patroli gabungan di bawah komando Trilateral Maritime Patrol (TMP). Namun IPAC berpendapat patroli gabungan tersebut tak cukup untuk menghentikan aksi militan Abu Sayyaf. Perahu cepat bertenaga besar yang digunakan para militan dapat dengan mudah lolos dari penyergapan. Persenjataan yang cukup lengkap juga tak bisa dianggap remeh. Selain itu, pulau-pulau kecil di Laut Sulu kerap dimanfaatkan Abu Sayyaf sebagai tempat persembunyian sementara.
“Kerjasama militer tiga negara tidak memiliki efek jera yang signifikan,” kata Deka. “Jika dilihat lagi, diperlukan langkah non-militer.”
Abu Sayyaf juga menjadi target Operation Enduring Freedom sejak 2002 hingga 2015 sebagai bagian dari kebijakan Global War on Terror yang diinisiasi presiden Bush pasca serangan 9/11. Namun operasi gabungan antara militer Filipina dan AS tersebut tak berhasil membasmi Abu Sayyaf, sebab semangat perjuangan mereka diturunkan dari generasi ke generasi. Selalu ada regenerasi dan balas dendam di belakang ideologi Salafi garis keras yang dianut mereka.
“Perlu dipahami pula bahwa Abu Sayyaf disatukan oleh klan dan budaya,” tukas Deka. “Jadi ketika panglima mereka tewas; anak, saudara, atau siapapun bakal angkat senjata, dengan motivasi balas dendam dan profit.”
***
Sandakan adalah kota kedua terbesar di Sabah setelah Kota Kinabalu. Topografi Sandakan berupa perbukitan landai yang menjorok ke laut, membentuk lanskap kota pesisir yang indah. Kota seluas 2.266 km2 tersebut dihuni sekira 150 ribu jiwa. Terletak di bagian timur Sabah, Sandakan punya sejarah panjang dan punya peranan penting bagi legitimasi kekuasaan pemerintah kolonial. Di akhir abad 19, pemerintah kolonial Inggris menjadikan Sandakan sebagai pusat perdagangan dan mendorong transmigrasi warga Tionghoa dari Hong Kong untuk menggenjot perekonomian. Tak lama kemudian Sandakan mendapat julukan Little Hong Kong.
Sandakan adalah kota pelabuhan penting dalam industri perikanan Malaysia. Kota itu cukup dekat Laut Cina Selatan yang memiliki stok ikan melimpah sepanjang tahun. Nelayan cuma butuh waktu sekitar 3–4 jam untuk mencapai lokasi yang kaya akan ikan. Setidaknya 50 hingga 100 spesies ikan diperdagangkan di Sandakan. Pada 2016, total tangkapan nelayan Sandakan mencapai hampir 25 ribu metrik ton, dengan nilai mencapai hampir 78 juta ringgit, atau setara Rp257 milyar. Komoditas tersebut diekspor antara lain ke Hong Kong, Tiongkok, Jepang, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam.
Salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi setiap hari adalah pasar ikan Sandakan. Setiap pagi, puluhan kapal membongkar muatan di pasar itu, menyediakan bermacam ikan mulai dari tuna sirip kuning yang langka hingga hiu. Pada 2015, pemerintah Sabah berencana membangun fasilitas pendingin ikan terbesar di negara bagian itu, yang menelan dana 2.5 juta ringgit atau setara Rp8 milyar, demi memenuhi permintaan ekspor.
Dengan tata kota khas jajahan Inggris, Sandakan sekilas terlihat dan terdengar cukup damai dan makmur. Namun kedamaian di kota itu terpaksa tunduk di bawah ancaman penculikan Abu Sayyaf.
Kabar penculikan Subandi segera merebak ke seantero Sandakan. Syahir, paman Subandi yang telah berpuluh tahun menetap di Sandakan sebagai nelayan, adalah orang pertama yang ditelepon oleh Subandi beberapa saat setelah dia diculik.
“Saat pertama kami mendengar kabar itu, nelayan di sini panik. Ada yang ingin segera pulang karena . Saya bilang ‘tidak usah [], mau apa kita pulang karena kita ini sudah dikawal. Dikawal pemerintah di sini,’” kata Syahir.
Di malam Subandi dan dua kawannya diculik, Syahir berada tak jauh dari lokasi penculikan. Menjelang pagi, tak ada kabar dari kapal Subandi. Syahir meraih radio di kapalnya, mencoba mengontak Subandi. Tapi tak ada jawaban di ujung sana. Baru dua hari kemudian, Subandi menelepon, mengatakan dirinya kini berada di hutan. Sambungan telepon lantas terputus sebelum Syahir menanyakan kabar. Syahir akhirnya berkesimpulan, kemenakannya diculik Abu Sayyaf.
Rumor soal kelompok Abu Sayyaf telah lama beredar di lingkaran nelayan Sandakan. Pada 2016, dua nelayan asal Buton, Sulawesi Tenggara diculik Abu Sayyaf di dekat Sandakan. Petugas patroli air Malaysia akhirnya kerap mewanti-wanti mereka agar selalu waspada dan tak melewati batas perairan. Namun Syahir mengaku baru kali ini mendengar kabar penculikan di ladang pencaharian mereka, dan sialnya musibah itu menimpa rekan mereka sendiri.
Syahir menduga anak buah kapal Subandi tertidur dan terbawa arus hingga perairan Filipina, sebab jarak Sandakan hingga batas negara cukup pendek, hanya 28 km. Syahir mengatakan, setiap kapal pukat dilengkapi Inshore vessel monitoring systems (IVMS), sebuah sistem berbasis jaringan GSM yang dapat di-install di ponsel, buat memonitor pergerakan tiap kapal. Tiap kapal juga punya radar GPS yang menampilkan grafik pulau dan perbatasan. Jika Subandi memperhatikan itu semua, penculikan itu tak bakal terjadi, kata Syahir. “Sebab penculik itu tak akan berani masuk ke perairan Malaysia,” kata Syahir.
Suatu keyakinan yang terbukti salah.
Sejak 2000, penculikan Abu Sayyaf kerap terjadi di Sabah, di perairan maupun di darat. Setidaknya 32 orang telah diculik Abu Sayyaf dalam kurun 2000–2015 di negara bagian itu. Pada malam hari 14 Mei 2015, empat orang anggota Abu Sayyaf berpakaian ala militer lengkap dengan bedil laras panjang dan pistol menyatroni restoran seafood Ocean King yang terletak di bibir pantai Sandakan dan menculik manajer Thien Nyuk Fun dan tukang listrik Bernard Then.
Thien bebas enam bulan kemudian dengan uang tebusan 30 juta peso atau Rp8 milyar. Sementara Then mengalami nasib mengenaskan. Kepalanya ditemukan terbungkus di dekat sebuah kantor pemerintah di Jolo. Then menjadi warga negara Malaysia pertama yang diculik dan dibunuh oleh Abu Sayyaf.
Pasca kejadian itu, Ocean King berubah menjadi bangunan terlantar berlumut yang ditumbuhi tanaman liar. Sepertinya tak ada orang yang mau mengambil risiko untuk membuka restoran itu kembali dan mengharap musibah datang untuk kedua kalinya.
Bahkan saking maraknya, pemerintah Malaysia mengklaim telah menggagalkan 40 percobaan penculikan di Sabah hanya dalam kurun Januari tahun ini saja. Kota Sandakan seketika berubah menjadi mencekam setiap malam. Sejak 2016 hingga sekarang, pemerintah Sabah masih memberlakukan jam malam dari pukul 6 sore hingga 6 pagi di beberapa kota, termasuk Sandakan. Suasana berubah menjadi tegang ketika matahari terbenam, sebab tak ada yang pernah tahu kapan penculikan akan terjadi lagi.
Kendati patroli maritim terus digalakkan di sekitar Laut Cina Selatan dan Laut Sulu, para nelayan itu bergelut dengan nasib sendirian. Kendati pemerintah Malaysia telah memasang delapan radar pesisir canggih, jumlah personel polisi maritim di Malaysia tak cukup buat mengamankan garis pantai Sabah timur yang mencapai 1.400 km. Pemerintah Indonesia juga tak bisa menjamin keamanan nelayan WNI, dan hanya bisa memberikan imbauan untuk tidak melaut saat situasi tidak kondusif.
Ancaman penculikan sewaktu-waktu di kota itu rupanya tak membuat para nelayan di pelabuhan Sandakan untuk melaut. Sore hari di bulan September 2018 ketika VICE menyambangi pelabuhan itu, para nelayan tengah seru bermain judi dadu. Lainnya bersantai di kapal masing-masing, sambil menelepon sanak famili di kampung atau sekedar mengaso. Seolah tak ada kekhawatiran di wajah mereka. Puluhan kapal pukat berjejer rapi, menanti giliran melaut. Ada sekitar 6.000 hingga 7.000 nelayan asal Indonesia di Sabah menurut data Kementerian Luar Negeri. Media Malaysia bahkan yakin jika nelayan Indonesia di Sabah berhenti melaut, industri perikanan di negara itu bakal lumpuh.
“Ya bolehlah itu pak,” kata Syahir. “Tapi yang penting lebih berhati-hati lagi.”
Syahir tak punya rencana pulang ke Bulukumba meski keluarganya terus memaksa.
***
Lantas apa yang membuat ribuan nelayan asal Indonesia bertaruh nyawa di negeri jiran alih-alih melaut di negeri sendiri? Selain uang, juga kestabilan dan kesejahteraan. Yang membedakan industri perikanan Sabah dan Indonesia adalah peraturan dan infrastruktur, yang pada akhirnya akan menentukan kesejahteraan nelayannya. Malaysia tak melarang praktik penggunaan kapal pukat harimau di perairan sekitarnya, serta memiliki peraturan yang longgar bagi pengusaha ikan dan nelayan.
Dari data Departemen Perikanan Sabah, negara bagian itu memiliki 1.442 kapal pukat pada 1998. Angka itu diprediksi naik lima kali lipat pada dekade awal 2000. Rata-rata kapal pukat tersebut berukuran sedang dan memiliki panjang jaring hingga 20 meter dan lebar 10 meter. Di kiri dan kanan jaring dipasang satu bilah papan yang berfungsi sebagai pemberat.
Kapal pukat di Sabah kebanyakan beroperasi di laut dalam, mengambil apapun dari dasar laut seperti bebatuan, karang, ikan kecil, udang, dan ikan besar. Maka nama pukat harimau tak berlebihan dipakai, sebab tidak ada yang lolos dari jaringnya. Hasil tangkapan itu kemudian dipilah berdasarkan jenis. Ikan kecil biasanya diolah menjadi bakso ikan atau pakan ternak. Sementara ikan besar dan udang berakhir di pasar ikan atau kontainer ekspor.
Di Indonesia, kapal pukat sudah dilarang sejak 1980-an. Alasannya, pukat dianggap merusak ekosistem tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan dan juga merusak terumbu karang. Terlebih dia juga menangkap ikan kecil, yang berpotensi mengancam stok ikan di laut. Menurut data WWF Indonesia, sekitar 60–82 persen hasil pukat adalah tangkapan sampingan (bycatch) yang memiliki nilai pasar kecil.
Sejak menteri Susi Pudjiastuti berkuasa pada 2014, sederet peraturan baru diterapkan termasuk penegasan kembali larangan pukat. Susi memberlakukan moratorium penggunaan kapal eks-asing dan izin menangkap ikan bagi kapal asing di seluruh perairan Indonesia, alasannya moratorium itu efektif mencegah pencurian ikan. Menteri tersebut juga melarang transhipment alias bongkar muat di tengah laut, sebab berpotensi terjadi kecurangan (unreported fishing).
Sayangnya, sederet peraturan tegas itu (termasuk penenggelaman kapal asing yang tertangkap basah mencuri ikan di perairan Indonesia) tak dibarengi pembangunan infrastruktur yang memadai yang terkendala ruwetnya birokrasi.
Dari data United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia memiliki potensi kelautan mencapai US$2.5 triliun per tahun. Sebanyak 25 persen penduduk di pesisir dari total populasi juga menggantungkan hidupnya dari laut. Potensi itu, sayangnya, baru bisa dikelola sebesar 7 persen saja.
Meski Indonesia mengklaim bahwa neraca perdagangan ikan naik sejak pemberlakuan moratorium, dalam roadmap yang disusun oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk tahun 2015–2019 Indonesia belum optimal dalam mengelola potensi perikanan pulau-pulau kecil. Pembangunan sarana pendukung, ketersediaan BBM, serta sarana pengolahan ikan juga masih kurang di sejumlah daerah.
Salah satu sentra industri perikanan yang terkena dampak ketatnya peraturan Susi dan kurangnya pengembangan infrastruktur adalah Bitung, Sulawesi Utara. Kota di bagian paling ujung Sulawesi itu berjuluk Kota Cakalang dan menjadi salah satu tulang punggung industri perikanan Indonesia. Setiap tahun Bitung bisa menghasilkan rata-rata 45.000 ton ikan. Bitung terkenal dengan produk tuna kalengan yang diekspor ke mancanegara. Melimpahnya stok itu, sayangnya, tak didukung adanya fasilitas pendingin (cold storage).
Djefri Sagune, Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan (HIPKEN), adalah orang yang paling vokal dalam mengkritik kebijakan Susi. Djefrie pernah memimpin ratusan nelayan dalam demonstrasi menentang kebijakan Susi di DPRD Bitung pada 2014. Baginya kebijakan moratorium penggunaan kapal eks-asing hanya membuat nelayan kehilangan pekerjaannya. Peraturan itu melarang penggunaan kapal berbobot di atas 30 gross ton buatan asing, lantaran sulit untuk memantau izinnya.
“Sejak 2014 diperkirakan ada ratusan kapal yang tak bisa melaut karena tak mendapat izin dari pusat,” kata Djefrie di dermaga Bitung. “Fasilitas pendingin dan sarana transportasi pendukung distribusi juga tak maksimal.”
Karena tidak adanya fasilitas pendingin yang cukup, kata Djefrie, para nelayan terpaksa bongkar muat di laut (transhipment) di perairan Filipina — dekat kota pelabuhan General Santos yang menjadi salah satu sentra industri perikanan terbesar di Asia Pasifik — semata agar ikan tangkapan tak membusuk di tengah perjalanan. Tapi itu pun juga belakangan dilarang oleh Susi. Kebanyakan hasil tangkapan nelayan dari Bitung langsung dijual ke pengepul, yang memiliki fasilitas pendingin sendiri. Karena transportasi logistik juga kurang, sekira 35 persen dari total tangkapan berakhir sebagai wasted commodity karena tak layak konsumsi.
“Soal cold storage sudah beberapa kali saya usulkan ke Kementrian Kelautan dan Perikanan,” kata Djefrie. “Tapi saat ini belum terealisasi. Ibu Menteri (Susi) selalu bilang ingin mengembangkan Bitung seperti General Santos di Filipina. Kapan itu bisa terjadi, kalau fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan ini tidak menunjang?”
Djefrie yakin seandainya potensi perikanan dan infrastruktur diolah secara optimal, nelayan Indonesia tak perlu lagi mengais rezeki ke negeri tetangga.
“Kalau fasilitas penunjang kapal yang ada cukup banyak, para pekerja tidak perlu lagi mencari [ikan] ke tempat lain,” tandas Djefrie.
***
Pada 12 September 2018, Subandi, yang telah disandera selama 20 bulan, mendengar selentingan kabar menggembirakan bahwa mereka akan dibebaskan. Kabar itu menjadi kenyataan. Pada 15 September, seorang anggota Abu Sayyaf mendatangi Subandi dan mengatakan mereka akan dijemput menggunakan sepeda motor keluar hutan.
Pukul 10 pagi, pengendara sepeda motor itu datang. Mereka menempuh perjalanan 20 menit sampai tiba di pinggir jalan raya. Di sana, ketiga sandera tersebut disambut sebuah mobil yang akan membawa mereka ke Jolo. Subandi mendengar bahwa orang yang menjemput mereka adalah petinggi Moro National Liberation Front (MNLF) yang berkoordinasi dengan Gubernur Sulu. Baik MNLF dan pemerintah Sulu punya andil dalam pembebasan sandera sejak 2016, menurut IPAC.
Dari Jolo, Subandi dan kawannya terbang ke pangkalan militer di Zamboanga dan dirawat di trauma healing center. Mereka tiba di sana pada pukul 2 siang. Pada 19 September, mereka tiba di Indonesia dan diserahkan secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri kepada keluarga masing-masing.
Pembebasan Subandi mengundang tanya. Sebab Kementerian Luar Negeri menyangkal adanya uang tebusan dalam pembebasan itu. Pemerintah Filipina juga tutup mulut. Namun Sidney Jones dari IPAC berpendapat lain. Setidaknya ada dua hal kenapa pemerintah masing-masing negara terkesan menutupi proses negosiasi saat terjadi pembebasan sandera. Pertama, ini berkaitan dengan citra suatu negara, kata Sidney.
“Saya kira di satu sisi pemerintah Indonesia ingin terlihat sebagai negara yang tidak bernegosiasi dengan penjahat,” kata Sidney. “Citra Indonesia akan hancur sedikit, kalau mereka langsung membayar tebusan.”
Kedua, Sidney berpendapat bahwa uang tebusan bisa saja bersumber dari donatur atau pihak ketiga. Sidney percaya, tidak mungkin jika sandera dibebaskan secara cuma-cuma.
Soal pembayaran uang tebusan yang bersumber dari pihak lain memang pernah terjadi. Pada saat WNI pertama kali diculik pada 2016, pemerintah Indonesia kala itu juga menyangkal adanya pembayaran tebusan untuk membebaskan nelayan. Namun, dari catatan IPAC ada dua kelompok yang bergerak sendiri untuk membebaskan sandera. Satu tim dari Yayasan Sukma milik Surya Paloh dan satu lagi tim bentukan perusahaan logistik atas desakan Panglima TNI kala itu Jenderal Gatot Nurmantyo yang dipimpin oleh Kivlan Zein.
Kivlan punya sejarah tersendiri dalam konflik di Filipina. Dia pernah menjadi mediator saat Indonesia menengahi konflik antara MNLF dan pemerintah Filipina. Kivlan mengenal pemimpin MNLF Nur Misuari dengan baik. Koneksi antara dua orang itu dipercaya menjadi penyebab mulusnya negosiasi sandera. Ada dugaan bahwa MNLF juga mendapat bagian dari uang tebusan yang dibayar Indonesia.
VICE mencoba menghubungi Yayasan Sukma untuk mengkonfirmasi hal tersebut, namun tidak mendapat respon.
Suatu hari di bulan Oktober, VICE mengunjungi Subandi di rumahnya. Satu bulan setelah dibebaskan, Subandi masih enggan melaut. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama keluarga. Subandi tak punya rencana untuk kembali ke Sandakan. Trauma masih membayanginya.
“Masih macam ada ketakutan gitu,” kata Subandi. “Selama di sana itu di [tahanan] Abu Sayyaf enggak pernah kita tidur enak, sebab selalu ada bunyi senjata, bom jadi kita kaget terus di situ.”
Trauma itu hanya sementara buat Subandi. Beberapa bulan setelah beristirahat, Subandi mengangkat sauh lagi, kembali menjelajah laut. Kali ini dia lebih memilih melaut di Bulukumba, seperti yang pernah dilakukannya semasa kecil.
—
Gambar dari Pixabay.